source : Mbah Bedjo
Dengan adanya tragedi heroik di bumi Kedngjati, maka terjadilan Taman Makam Pahlawan di Kedungjati. Adapun untuk tragedi heroik tersebut, adalah terjadinya perang antara TNI bersama masyarakat Kedungjati sebagai pejuang, melawan Belanda yang ingin berkuasa kembali di bumi pertiwi ini. Tentara Belanda yang membonceng tentara sekutu, datang ke kota-kota besar di tanah Jawa, melakukan penyerangan terhadap TNI dan para pejuang. TNI yang baru saja terbentuk bersama para pejuang, melakukan perlawanan walau hanya menggunakan senjata yang sangat sederhana. Seperti yang terjadi di Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945, TNI dan para pejuang yang melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan.
Demikian juga yang terjadi di Kedungjati, TNI dan para pejuang juga melakukan perlawanan dengan melakukan pencegatan terhadap tentara Belanda, yang berpatroli dari Ambarawa menuju Gubug. Mereka menjadikan desa Kentengsari sebagai markas, dan jembatan Tuntang sebagai garis pertahanan depan. Walaupun sering mengalami kegagalan, tetapi upaya yang mereka lakukan sudah menunjukkan pada dunia internasional, bahwa bangsa Indonesia tidak sudi dijajah kembali.
Pencegatan terhadap patroli Belanda tanggal 6 September 1946, terjadilah peperangan yang agak seru. Dari pihak pejuang gugurlah Jokarso dan Sumantri, yang jenazahnya dimakamkan di sebelah Utara pasar Kedungjati. Pencegatan terhadap patroli Belanda masih terus dilakukan, dan setiap ada pejuang yang gugur dalam pertempuran, akan dimakamkan di sebelah Utara pasar Kedungjati.
Pada tanggal 29 Agustus 1948 Tentara Nasional Indonesia bersama para pejuang yang diperkuat Tentara Pelajar dari Solo, melakukan pencegatan di tikungan jalan sebelah selatan rel kereta api. Rupa-rupanya ada kekeliruan informasi, karena yang lewat bukan patroli seperti biasanya, tetapi regu yang akan mengganti regu di Pos Penjagaan Gubug. Terjadilah peperangan seru, dan lagi-lagi karena kalah persenjataan, terpaksa mereka harus mundur dan kembali ke markasnya. Akan tetapi tentara Belanda melakukan pengejaran dengan menggunakan kendaraan Jeep dan truk, sehingga lebih dahulu datang di pinggir jembatan Tuntang. Para pejuang terpaksa terjun ke sungai, untuk menyeberang menuju desa Kentengsari. Hal ini tentu saja menjadi sasaran empuk peluru tentara Belanda, sehingga menimbulkan luka dan korban jiwa pada pihak TNI dan para pejuang.
Setelah tentara Belanda meninggalkan jembatan, mereka yang selamat menyusuri pinggir sungai, untuk mencari temannya yang gugur dan hanyut. Akhirnya mereka berhasil menemukan jenazah Nasri dan Juremi, yang tersangkut di pinggiran sungai. Karena ada tentara Belanda yang berjaga di stasiun Kedungjati, maka dua jenazah pejuang tersebut dimakamkan di pinggir hutan dekat desa Padas.
Tentara Belanda akhirnya tahu, kalau desa Kentengsari menjadi markas TNI dan para pejuang. Oleh karena itu tentara Belanda sering melakukan operasi di desa tersebut, untuk mencari keberadaan TNI dan para pejuang. Akan tetapi bila ada operasi yang dilakukan tentara Belanda, mereka segera bersembunyi masuk ke hutan. Untuk mencegah agar tentara Belanda tidak selalu datang ke desa Kentengsari, maka pada awal tahun 1949 jembatan Tuntang dihancurkan oleh TNI dan para pejuang.
Pada tahun 1950, Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan memerintahkan membuat Taman Makam Pahlawan, di daerah yang ada makam para pejuang yang gugur di medan perang. Untuk daerah yang diperintahkan tersebut, antara lain Purwodadi, Wirosari, Gubug dan Kedungjati. Panitia Pembuat Taman Makam Pahlawan Kedungjati yang dipimpin pejabat Seten, menetapkan untuk letaknya berada di sebelah utara pasar Kedungjati. Adapun sebagai pertimbangan, karena disitu telah ada makam 12 pejuang yang gugur pada tahun 1946, 1947 dan 1948. Dalam pelaksanaan itu kerangka jenazah Nasri dan Juremi di desa Padas, digali dan dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kedungjati. Untuk mengenang kalau di desa Padas pernah dimakamkan dua pejuang tersebut, maka dipertigaan desa didirikan tugu Pahlawan.
Sangat disayangkan sekali, ada satu makam pejuang (tidak diketahui namanya) di dukuh Kaliceret, tidak ikut dipindahkan ke Taman Pahlawan Kedungjati. Poro sepuh di pedukuhan tersebut menjelaskan, kalau itu benar makam seorang pejuang, yang gugur ketika ikut melakukan pencegatan terhadap patroli tentara Belanda di daerah Kaliceret. Tidak diketahui apa alasannya, hingga sekarang pejuang yang gugur tersebut masih menyendiri di perbukitan Kaliceret, tanpa ada yang datang menabur bunga.
Untuk mengenang para pahlawan yang telah gugur, pada setiap malam 17 Agustus jam 24.00 di Taman Makam Pahlawan Kedungjati diadakan upacara renungan, yang dihadiri oleh para pejabat muspika, para pelajar dan tokoh masyarakat setempat. Semoga sebagai generasi penerus, kita selalu ingat akan perjuangan para pahlawan, yang mengisi kemerdekaan dengan hal-hal positif.